Mabit di Muzdalifah Bermakna Kepasrahan Total

Haji, Opini285 Dilihat

Matahari senja mulai menguning perlahan lalu lenyap dari langit pada Kamis, 5 Juni 2025. Udara padang pasir pun mulai bersahabat, mengendorkan teriknya setelah seharian menyengat kerontang Tanah Suci. Dari Arafah, jutaan jemaah haji mulai bergerak perlahan menuju Muzdalifah. Perjalanan ini bukan sekadar fisik, melainkan juga perjalanan batin: dari padang pengakuan dan munajat di Arafah, menuju tempat perenungan dan persiapan diri di Muzdalifah.

Dalam alur manasik haji, Muzdalifah bukanlah titik henti biasa. Di sinilah jemaah bermalam—mabit—dalam keheningan yang diselimuti bintang, dan memungut batu kerikil sebagai simbol perjuangan melawan sisi gelap diri. Batu-batu kecil itu kelak akan dilemparkan ke tiga jumrah di Mina—simbol penolakan terhadap bisikan setan, ego, dan segala bentuk kemungkaran yang menjauhkan manusia dari Tuhannya.

Namun sebelum langkah-langkah jemaah mencapai Muzdalifah, ada sekelompok insan yang lebih dulu hadir di sana. Mereka adalah para petugas haji. Tidak banyak yang menyadari betapa besar pengorbanan mereka. Di balik megahnya prosesi haji, merekalah para pengabdi yang bekerja tanpa henti demi memastikan setiap jemaah dapat menjalani ibadah dengan aman, nyaman, dan khusyuk.

Sejak sekitar pukul 15.00 waktu setempat, setelah wukuf di Arafah, para petugas sudah bersiaga di Muzdalifah. Mereka adalah tim advance—barisan pertama yang menyiapkan ruang dan mengatur arus kedatangan jemaah. Di bawah terik matahari, menahan haus dan lapar, mereka bekerja tanpa pamrih. Bukan sekadar mengatur karpet atau logistik, tetapi membentangkan jalan menuju kekhusyukan.

Ketika malam tiba dan ribuan jemaah mulai berdatangan, Muzdalifah pun menjelma menjadi lautan manusia. Mereka membentangkan sajadah di atas karpet yang telah disiapkan syarikah, menjadikan ransel sebagai bantal, dan mencoba tidur meski hanya sekejap. Di sela-sela itu, sebagian memungut batu kerikil, menyimpannya dalam botol air kemasan—sebuah ritual sunyi yang sarat makna.

Di antara mereka, mungkin ada yang menangis dalam diam. Mungkin ada yang mengenang dosa-dosa lama, lalu memohon agar lembaran hidupnya dibersihkan. Ada pula yang membayangkan wajah orang-orang tercinta di tanah air, berdoa agar mereka selalu dalam lindungan-Nya. Di sinilah ruh haji menemukan bentuknya yang paling jujur: kepasrahan total, kerapuhan yang justru menjadi kekuatan.

Para petugas tetap berjaga. Ada yang memastikan logistik tak terputus, ada yang membantu lansia yang kesulitan berjalan atau disorientasi. Ada yang rela tidak tidur semalam suntuk demi memastikan tak satu pun jemaah tersesat. Mereka adalah penjaga kemuliaan ibadah ini. Tak banyak dikenal, tapi amalnya tercatat di langit.

Muzdalifah bukan sekadar tempat mabit. Ia adalah cermin kesabaran, pengabdian, dan kesiapan spiritual. Di sinilah kita belajar bahwa dalam hidup, kita tak pernah benar-benar berjalan sendiri. Ada orang-orang yang diam-diam mempermudah jalan kita. Yang menyiapkan tempat, menyuguhkan air, menyalakan lampu, memapah saat kita terjatuh. Mereka pengingat, bahwa hidup adalah tentang saling menguatkan.

Malam di Muzdalifah bergulir dalam senyap. Langit menjadi atap, bumi menjadi alas. Di sela dzikir dan desau angin malam, setiap hati bermunajat: semoga ibadah ini diterima, semoga jiwa ini dibersihkan, dan semoga pulang nanti menjadi manusia yang baru—lebih lembut, lebih sabar, lebih dekat kepada Tuhan, dan lebih peduli pada sesama.

Keesokan harinya, jemaah melanjutkan perjalanan ke Mina. Batu kerikil di tangan mereka bukan sekadar batu. Ia adalah tekad. Ia simbol jihad batin. Buah dari malam panjang di Muzdalifah—malam yang menyatukan jutaan hati dalam keheningan dan harapan.

Sementara jemaah tertidur dan bersiap melanjutkan manasik, para petugas sudah lebih dahulu bergerak ke Mina. Lagi-lagi mereka menjadi yang pertama. Pengabdian mereka tak mengenal lelah, karena mereka tahu: siapa yang melayani tamu-tamu Allah, maka Allah sendiri yang akan memuliakannya.

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Sahabat Haji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *