Hukum Tanazul Mina

Haji376 Dilihat

Salah satu yang menjadi pembahasan Mudzakarah Perhajian Indonesia 2024 yang digelar Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) pada tanggal 7-9 November 2024 di Institut Agama Islam (IAI) Persis Bandung, Jawa Barat adalah Hukum Tanazul Mina.

Pembahasan itu dilakukan para ulama dalam Mudzakarah Perhajian Indonesia 2024 lantaran pada penyelenggaraan haji tahun 2024, ada sejumlah kondisi spesifik di Muzdalifah. Pertama, jumlah jemaah haji lansia sekitar 45.000 orang (21,09%), sebagian dalam keadaan lemah, risti atau sakit. Kedua, kepadatan di Mina meningkat sebagai dampak tidak digunakannya maktab 1-9 di Mina Jadid (tausi’atu Mina) sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

Dimana, pada haji tahun 2023, area ini ditempati sekitar 183.000 jemaah haji Indonesia yang terbagi dalam 61 maktab. Sementara ada sekitar 27.000 jemaahhaji Indonesia (9 maktab) yang menempati area Mina Jadid. Tahun 2024, Mina Jadid tidak lagi ditempati jemaah haji Indonesia. Sehingga, 213.320 jemaah dan 2.747 petugas haji akan menempati area Mina syar’i. Ketiga, semakin sempitnya area mabit di Mina dengan estimasi per orang seluasa 0,87m2.

Dengan kondisi demikian, dimungkinkan resiko prevalensi angka sakit bagi jemaah lansia yanglemah dan risti akan semakin meningkat, bahkan menimbukan kematian. Ditambah lagi dengan cuaca ekstrim disertai dengan keterbatasan fasilitas yang tidak ramah lansia, menjadi faktor yang dapatmemperberat kondisi jemaah haji.

Oleh sebab itu, pada Haji 2024, Kementerian Agama memberlakukan beberapa skema untuk mengantisipasi kepadatan jemaah baik di Muzdalifah ataupun dimina, salah satunya yaitu Tanazul Mina. Lalu apa dasar hukum tanazul mina? Berikut keterangannya:

  1. Firman Allah dalam al-Qur’an sebagai berikut:
    1. Surat al-Baqarah: 203, yang menjelaskan tentang mabit di Mina

´وٱ ْذ ُك ُرو ˚ا ٱ َّلل´ فِ ٓى أ´يّا ٍم ّم ْع ُدو َٰ´د ٍت

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” Inilah yang dimaksud dengan hari tasyrik dan waktunya mabit di Mina.

  1. Surat al-Hajj ayat 28, tentang

ّم ْعلُو َٰ´م  ٍت

ٓى أ´يّا ٍم

َّللِ فِ

ْس ´م ٱ

ُك ُرو ˚ا ٱ

´وي´ ْذ

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka.” Inilah yang dimaksud dengan sepuluh hari awal Dzulhijjah.

  1. Hadist Rasulullah antara lain:
    1. Hadist tentang Nabi yang mengizinkan Abbas untuk mabit di Makkah

´و  ´ع ِن اِ ْب ِن   ُع ´م ´ر  ´ر  ِض  ´ي  ´ ّّللَاُ   ´ع ْن ُه ´ما: أ´ ّن ا´ ْلع´بّا  ´س  ْب ´ن   ´ع ْب ِد ا´ ْل ُم  ّط ِل  ِب اِ  ْست ْ´أذ´ ´ن  ´ر  ُسو ´ل  ´ ّّللَاِ أ´ ْن   ِ´يبي  ´ت بِ ´م ّكة´

ل´ي´ا ِل ´ي ِم ًنى, ِم ْن أ´ ْج ِل ِسق´اي´تِ ِه, ف´أ´ ِذ ´ن ل´هُ

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib memohon izinkepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menginap di Makkah pada malam-malamyang seharusnya berada di Mina karena tugasnya memberi air minum (dengan air zam zam) kepada jamaah haji. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya. [HR. Bukhari, no. 1643, 1734-1745 dan Muslim, no. 1315]

  1. Hadist petunjuk Rasulullah tentang tempat mabit di Muzdalifah

´و ´ع ْن ´عا ِص ِم ْب ِن ´ع ِد ‘يٍ أ´ ّن ´ر ُسو ´ل ´ ّّللَاِ أ´ ْر ´خ  ´ص ِل ُر ´عاة ا´ ْ ِْلبِ ِل فِي ا´ ْلب´ ْ ُيتوت´ ِة ´ع ْن ِم ًنى, ي´ ْر ُمو ´ن ي´ ْو ´م

´النّ ْح ِر, ثُ ّم ي´ ْر ُمو ´ن ا´ ْلغ´ ِد ِلي´ ْو ´م ْي ِن, ثُ ّم ي´ ْر ُمو ´ن ي´ ْو ´م ا´لنّ ْف ِر

Dari ‘Ashim bin ‘Adiy, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringananpada para pengembala unta untuk bermalam di luar kota Mina, mereka melempar jumrah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), lalu mereka melempar jumrah lagi pada 12 Dzulhijjah untuk dua hari (11 dan 12), kemudian mereka melempar jumrah lagi pada hari Nafr (hari jamaah haji keluar dari Mina, 12 atau 13 Dzulhijjah). (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

  1. Pendapat ulama’ tentang mabit di Muzdalifah sebagai berikut:
    1. Menurut madzhab Maliki, mabit di Mina pada malam hari tasyriq hukumnya wajib, imam Malik berkata; Barangsiapa tidak bermalam di Mina pada malam-malam Mina, sedangkan dia bukan penggembala dan bukan orang yang bertugas memberikan air minum kepada jamaa haji, maka dia harus membayar dam. (Abi al-Barkat ad-Dardiri, Asy-Syarh ash-Shaghir, juz 2 hlm. 64; Abi ‘Abdillah al-Qurthubi, Al-Jami’ al-Ahkam juz 3 hlm. 371).
    2. Menurut madzhab Hanafi, mabit di Mina pada malam hari-hari tasyriq hukumnya sunah bukan wajib, dan mukim di Mina itu karena untuk melontar jamrah. Meski demikan dianjurkan agar tidak menginap di Makkah atau di jalan-jalan, sebab pada malam hari tasyriq makruh jika mabit selain di Jika melakukan mabit selain di Mina maka tidak apa- apa akan tetapi itu merupakan perbuatan buruk.(Abd al-Ghani ad- Dimasyqi, Al-Lubab fi Syarh al-Kitab, juz 2 hlm436; ‘Ala ad-Din al-Kasani al-Hanafi, Bada’i’ ash-Shana’i’, juz 3 hlm. 149)
    3. Menurut madzhab Syafi’i, mabit di Mina pada malam hari tasyriq, Pertama, yang paling shahih hukumnya adalah wajib. Kedua, hukumnya sunah, ini merupakan satu pendapat yang diriwayatan oleh imam ar-Rafi’i. Ulama sepakat, meninggalkan mabit maka harus membayar dam, jika bermalam itu dikatakan wajib maka damnya wajib dan jika dikatakan sunah maka damnya juga sunah. (An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, juz 9 hlm. 91; An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 8 hlm. 223).

 

  1. Menurut Madzhab Hanbali, menginap di Mina pada malam hari tasyriq hukumnya wajib. Terdapat pendapat kedua dari imam Ahmad bahwa bermalam di Mina Namun riwayattentang mabit di Mina hukumnya wajib itu lebih shahih dan meninggalkan mabit wajib membayar dam.(Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 5 hlm. 324; Syams ad-Din al-Maqdisi, Kitab al-Furu’, juz 6 hlm. 60. )
  2. Pendapat ulama’ tentang hukum orang yang mendapat Keringanan meninggalkan mabit Mina, sebagai berikut:
    • Menurut madzhab Maliki, pada hari tasyriq Jemaah harus bermalam di Mina, tidak boleh bermalam di Makkah atau tempat lain selain Mina, hanya para penggembala dan orang orang yang bertugas memberikan air minum kepada jemaah haji yang diberi keringanan boleh meninggalkan mabit di Mina. Imam Malik berkata; Barangsiapa tidak bermalam di Mina pada malam-malam Mina, sedangkan dia bukan penggembala dan orang yang bertugas memberikan air minum kepada jemaah haji, maka dia harus membayar dam. (Abi ‘Abdillah al- Qurthubi, Al-Jami’ al-Ahkam, juz 3 hlm. 371)
    • Menurut madzhab Syafi’i, Jemaah wajib mabit di Mina pada malam hari tasyriq, namun Rasulullah SAW memberi keringanan kepada penggembala onta dan pengurus siqayah, mereka boleh meninggalkan mabit pada malam-malam Yang termasuk mendapatkeringanan juga orang yang udzur (berhalangan) seperti orang yang memiliki harta tapi takut hilang bila dia bermalam, atau orang yang takut terhadap keselamatan dirinya, atau orang yang menderita penyakit yang menyebabkannya tidak bisa bermalam, atau penderita penyakit yang harus dirawat intensif, atau orang yang mencari budak yang melarikan diri atau untuk melakukan hal lain yang dikhawatirkan akan tertinggal bila tidak segera dikerjakan. Menurut pendapat fuqaha Syafi’iyah, mereka boleh meninggalkan bermalam dan tidak ada sanksi. (Asy- Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam as-Syafi’i, juz 1 hlm. 420;An- Nawawi, Kitâb al-Îdhâh fî Manâsik al-Hajj wal-‘Umrah, hlm.121.)
    • Menurut madzhab Hanbali, para penggembala diberi keringanan berupa boleh meninggalkan mabit pada malam-malam Mina, namun jika pada malam hari sudah selesai menggembala maka harus mabit. Hukum yang sama berlaku pula untuk petugas yang memberi minum para jamaah haji, dan orang yang udzur (berhalangan), seperti orang sakit, atau orang yang sedang menjaga harta berharga yang dikhawatirkan hilang kalau ditinggal pergi, Nabi SAW memberi keringanan kepada penggembala sebagai isyarat untuk yang lain, meski nashnyauntuk penggembala, tetapi hukumnya berlaku untuk siapa saja yang kondisinya sama dengan penggembala. dalam konteks ini termasuk petugas rumah sakit yang bertugas diluar Mina atau orang yang menemani orang sakit. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 5 hlm. 379; ‘Abdullah bin Shalih al-Fauzan, Minhah al-‘Alam fi Syarh Bulugh al-Maram, juz 5 hlm. 343)
  3. Pendapat ormas terkait dengan Tanazul Mina, sebagai berikut:
    • Keputusan pengurus besar harian Suriah tentang hasil Masail Ad-Diniyah Al-Waqiah tanggal 28 Mei 2024, menyatakan bahwa jamaah haji yang pada hari tasyrik di tanazulkan atau kembali ke hotel dapat memilih atau mengikuti pendapat sebagai berikut:

 

  1. Mabit di mana hukumnya wajib sehingga jamaah haji yang di tanazulkan pada malam hari dapat memasuki kawasan Mina untuk mabit dengan memenuhi kriteria Mu’zamul lail di area sekitar Jamarat dan minimal sebelum fajar berada di mina sampai subuh sehingga bisa langsung lontar jumroh.
  2. Mabit di mina hukumnya Sunnah sehingga jamaah boleh tidak mampir di minat dan tidak dikenakan dam
  3. Bagi jamaah yang tidak dapat melakukan mabit di mina karena uzur maka dapat mengikuti pendapat bahwa boleh dan sah serta tidak dikenakan membayar utang. Menurut Mazhab Syafi’i jamaah haji yang memiliki uzur tidak perlu memaksakan diri untuk melaksanakanmabit karena bagi mereka meninggalkan mabit tidak terkena membayar dam sebab itu merupakan keringanan dalam
  • Fatwa Majelis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Tentang Hukum BerhajiDengan Visa Nonhaji, Murūr Di Muzdalifah Dan Tanāzul Di Mina, tanggal 12 Juni 2024, menyatakan sebagai berikut:
    1. Pertama, pada prinsipnya ibadah yang dituntunkan dalam haji adalah mabit di Minasetelah dari Muzdalifah dan melempar jamrah serta melaksanakan ibadah-ibadah selanjutnya.
    2. Kedua, tanāzul diperbolehkan bagi jamaah yang memiliki uzur syar‘i, baik terkait kondisi fisik, seperti risiko sakit, lansia, dan difabel, maupun uzur yang terkait dengan keadaan tempat dan kondisi pelaksanaan. Kebolehan tanāzul ini didasari atas prinsip taisīr yang menghendaki adanya kemudahan.
    3. Ketiga, tanāzul yang dimaksud di sini adalah pulang-balik dari Mina ke hotel di sela-sela melaksanakan ibadah di Mina. Jadi ketika jamaah bertanāzul, bukan berarti sama sekali tidak di Mina dan tidak mengerjakan ibadah selama di Mina.
    4. Keempat, bagi jamaah yang bertanāzul dan ketika waktu melempar jamrah ia berada ditenda Mina dan mewakilkan pada jamaah lain, ia tidak dikenai dam. Kelima, jamaah haji yang sama sekali berhalangan ke Mina dan tidak melaksanakan ibadah yang disyariatkan di Mina, ia dikenai dam, karena telah meninggalkan salah satu kewajiban haji.
  • Keputusan Dewan Hisbah Persatuan Islam 014 Tahun 1445 H. / 2024 M Tentang: “Tanazul; Tidak Mabit Di Mina Pada Tanggal 11 Dan 12 Dzulhijjah, mengistinbatkan:
    1. Menguatkan keputusan Dewan Hisbah tahun 2003 M bahwa Mabit di Mina pada malam tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah dalam rangkaian ibadah haji hukumnya wajib;
    2. Dalam kondisi terpaksa (istikrah) atau terjadi kesulitan (masyaqqah) sehingga tidak dapat bermalam di Mina, sedangkan jamaah, petugas, atau pembimbing sudah berusaha dengan sekuat tenaga, maka hajinya sah.
Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Sahabat Haji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *